Pengelolaan Lingkungan a la Keraton Kalimantan
Suasana Seminar Peranan Keraton se-Kalimantan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di lantai dasar Kedaton Kutai Kartanegara tadi siang Photo: Agri
|
KutaiKartanegara.com - 28/06/2007 22:02 WITA
Banyak kearifan lokal yang patut diteladani dari pihak Keraton dalam pengelolaan lingkungan di masa lalu. Hal tersebut terungkap dalam Seminar Peranan Keraton se-Kalimantan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berlangsung di Kedaton Kutai Kartanegara, Tenggarong, tadi siang.
Seperti dipaparkan H Adji Pangeran Ario Prodjo dari Keraton Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan materi bertajuk Permasalahan dan Kearifan Tradisional dalam Mengelola Lingkungan.
Dikatakannya, nenek moyang kita sangat arif dalam menjaga dan memperlakukan lingkungan agar dapat dinimati secara turun temurun. Keserasian manusia dan alam ini tertuang pada semboyan, Tuah Himba Untung Langgong.
"Artinya jika kita memelihara alam berikut potensinya (Tuah Himba) dengan baik, akan memberi manfaat (Untung) secara lestari (Langgong)," ujarnya.
Kearifan lokal lainnya kata AP Ario Prodjo adalah larangan dari Sultan Kutai bagi nelayan untuk tidak membunuh pesut dan menangkap ikan di kawasan reservat serta menebang pohon enau bagi petani.
Kemudian penetapan kawasan hutan lindung margasatwa di Bontang dan hutan lindung di Kersiq Luwai, Melak, Kutai Barat. "Menunjukkan betapa Sultan menjadikan lingkungan hidup sebagai basis pengambilan kebijakan," katanya.
Sementara Dr Ir Ratu Kenanga Arini MSc dari Keraton Amantubillah Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar), memaparkan makalah bertajuk Reposisi dan Revitalisasi Keraton sebagai Stakeholder dalam Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan.
Dikatakannya, kelestatrian alam tidak akan terjaga tanpa didahului proses optimalisasi kondisi lingkungan hidup sosial-budaya. Menurutnya dalam konteks pelestarian lingkungan, manusia selain sebagai agen utama juga dominan dalam mewarnai lingkungannya.
"Oleh karenanya, raja sebagai figur panutan dapat menjadi agen utama dalam keterlibatannya menjaga lingkungan hidup," ungkap Ratu Kenanga yang menjadi satu-satunya pemateri wanita dalam seminar tersebut.
Sementara Gusti Kamboja dari Keraton Tanjung Pura Matan, Ketapang (Kalbar), dalam makalahnya yang berjudul Warisan Keraton Dalam Budaya Masyarakat Pesisir Kalbar mengatakan, sosio-budaya perairan (Pesisir, laut dan sungai-red) sangat dominan di wilayahnya.
"Hal itu ditandai dengan penemuan berbagai jenis alat tangkap ikan. Didukung kebiasaan turun temurun raja-raja Matan Tanjung Pura di antaranya Sultan Muhammad Kamaluddin bergelar Penembahan Tiangtiga yang acap melaut dan terkenal di kawasan laut Asia Tenggara di akhir abad XIV," katanya.
Ditambahkannya, salah satu tradisi budaya air yang dikekalkan masyarakat nelayannya adalah adat Bebuang disamping tradisi Cuci Naga di Keraton, adat Anjung di Sambas, Robok-Robok di Mempawah, Tumpak Negeri di Landak dan Menyapat Kampung di Ketapang. "Semua tradisi ini melambangkan upaya menjaga keseimbangan alam agar tetap mampu memberikan yang terbaik bagi kehidupan," katanya. (win/nop)
|