Nomor Dua di Dunia Setelah Belanda Yayasan BOS Pantau Perubahan Lingkungan Dengan Teknologi Satelit Radar Pengurus Yayasan BOS Willie Smits menerima cenderamata dari ESA berupa prototipe satelit Envisat Photo: Agri
Willie Smits saat menunjukkan letak Transponder ASAR yang berada diatas tower kantornya di Samboja Lestari Photo: Yanda
|
KutaiKartanegara.com - 08/07/2006 17:09 WITA
Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo atau Borneo Orangutan Survival (BOS) yang beroperasi di wilayah Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), membuat langkah strategis sekaligus mencatat sejarah baru melalui pemanfaatan teknologi satelit radar dalam upaya memantau kelestarian alam dan lingkungan.
Hal ini dibuktikan dengan dioperasikannya sebuah transponder ASAR (Advanced Synthetic Aperture Radar) yang ditempatkan diatas menara gedung Kantor BOS Samboja Lestari di Desa Amborawang Darat, Kecamatan Samboja.
"Melalui alat ini kita bisa memperoleh citra satelit yang sangat akurat untuk mengetahui perubahan yang terjadi di muka bumi, seperti kerusakan alam akibat penebangan liar, penambangan ilegal atau pun kebakaran hutan," ujar pengurus Yayasan BOS Dr Ir Willie Smits didampingi Christoph Goetz dari ESA (European Space Agency) saat mendemonstrasikan peralatan canggih tersebut, Jum'at (07/07) kemarin, di area Samboja Lestari.
Konsultan ESA Christoph Goetz (kanan) didampingi Willie Smits saat menjelaskan keunggulan teknologi ASAR kepada wartawan nasional Photo: Yanda | | |
Sehingga dengan demikian, lanjut Willie, Yayasan BOS siap bekerjasama dan membantu pemerintah maupun masyarakat dalam upaya menyelamatkan dan menjaga kelestarian alam di wilayahnya melalui pemantauan lewat satelit radar.
Ditambahkan Willie Smits, Yayasan BOS merasa bangga dengan kepercayaan yang telah diberikan badan antariksa Eropa ESA untuk mengelola peralatan canggih dan mahal tersebut.
Apalagi penempatan transponder ASAR di Kecamatan Samboja ini merupakan yang ke-2 di dunia setelah Belanda dan pertama yang ditempatkan di belahan bumi selatan. "Transponder ASAR ke-3 dalam waktu dekat akan dipasang di Kanada yang berada di belahan bumi utara," sambung Christoph Goetz.
Menurut Willie, selain bekerjasama dengan badan antariksa Eropa (ESA), pihaknya juga bekerjasama dengan 3 badan antariksa lainnya seperti NASA Amerika Serikat, JAXA Jepang, dan LAPAN Indonesia serta PT SARVision Indonesia.
Sementara dikatakan konsultan ESA, Christoph Goetz, transponder ASAR memiliki keunggulan dalam menghasilkan citra permukaan bumi yang akurat dibanding foto satelit biasa, karena tidak terpengaruh oleh awan yang menutupi permukaan bumi maupun perubahan waktu dari siang ke malam.
Willie Smits bersama Christoph Goetz dari ESA dan Suhermanto dari LAPAN Indonesia usai ujicoba pemanfaatan transponder ASAR yang sukses kemarin siang Photo: Yanda | | |
Menurutnya, transponder ASAR bekerja dengan cara menerima sinyal radar dari satelit EnviSat yang merupakan sebuah satelit terbesar di dunia. "Sinyal radar tersebut lalu diperkuat oleh transponder ASAR dan beberapa saat kemudian dikirim kembali ke satelit untuk diolah menjadi citra permukaan bumi yang akurat," jelasnya.
Instrumen ASAR yang ada di satelit EnviSat, lanjut pria asal Jerman ini, mampu memanfaatkan gelombang radar untuk memetakan bentuk-bentuk permukaan bumi, mulai dari yang bergelombang hingga dataran es, termasuk penggunaan lahan serta jenis-jenis vegetasi.
"Ribuan orang di seluruh dunia mulai dari ilmuwan, pakar dan peneliti, menggunakan satelit ini karena kehandalannya," kata Christoph.
Ujicoba pengoperasian Transponder ASAR Jum'at kemarin dihadiri pula oleh Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN Suhermanto serta para wartawan media cetak dan elektronik nasional.
Dalam kesempatan tersebut, Christoph Goetz menyerahkan cenderamata berupa prototipe satelit Envisat milik ESA kepada Direktur Yayasan BOS Willie Smits. (win/nop)
|