Lamanya Masa Karantina Pasien Corona Klaster Gowa, Ini Penjelasan Jubir COVID-19 Kukar Juru bicara COVID-19 Kukar dr Martina Yulianti menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan lamanya masa isolasi pasien COVID-19 Grafis: Agri
KutaiKartanegara.com - 06/05/2020 22:00 WITA
Banyak pertanyaan yang mengemuka terkait lamanya masa isolasi yang harus dijalani sejumlah pasien positif Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), khususnya mereka-mereka yang menjadi pelaku perjalanan dari Gowa.
Padahal jika mengikuti standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), umumnya masa inkubasi virus Corona hanya berlangsung selama 2 hingga 14 hari. Sementara sejumlah pasien COVID-19 asal Kukar dari klaster Gowa telah satu bulan lebih harus menjalani isolasi.
Mereka sudah memulai karantina mandiri di rumah masing-masing semenjak menjadi ODP (Orang Dalam Pemantauan) setelah pulang dari Gowa antara tanggal 22-26 Maret 2020. Kemudian menjadi PDP (Pasien Dalam Pengawasan) pada 23 April 2020 setelah rapid test mereka menunjukkan hasil yang reaktif, hingga akhirnya terkonfirmasi positif COVID-19 pada 2 Mei 2020.
Beberapa pihak mempertanyakan mengapa pasien positif tersebut begitu lama harus dikarantina, sedangkan kondisi mereka cukup stabil dan bahkan tanpa gejala. Apakah memang ada perbedaan penanganan terhadap mereka yang terpapar Corona dari klaster Gowa.
Terkait hal tersebut, juru bicara Gugus Tugas COVID-19 Kukar dr Martina Yulianti pun angkat bicara. Menurut dr Martina Yulianti, masa inkubasi pelaku perjalanan dari Gowa yang lebih dari 14 hari ini merupakan kondisi yang diluar dari kondisi normal.
"Di luar negeri sudah banyak dilakukan penelitian atau riset terkait masa inkubasi virus ini. Dan hasilnya memamg bervariasi. Secara umum memang 2 hingga 14 hari, tetapi ada yang disebut outlier population atau orang yang di luar dari populasi umum, yang masa inkubasinya bisa lebih dari 28 hari," jelas wanita yang akrab disapa dr Yuli ini.
Tak seperti ilmu matematika yang hitungannya pasti, lanjutnya, di ilmu kedokteran yang merupakan ilmu hayat terdapat sesuatu diluar dari kaidah-kaidah umum atau anomali-anomali. "Jadi tidak ada sedikit pun dari kita yang mengurusi masalah ini, baik di Dinas Kesehatan, rumah sakit, dan Gugus Tugas untuk mengada-ada terkait dengan hasil ini. Hasilnya memang seperti itu. Mengapa masa inkubasi bisa lebih dari 14 hari, seperti yang saya sampaikan tadi berdasarkan jurnal-jurnal yang ada, memang ada kondisinya bisa sampai 28 hari bahkan lebih," paparnya.
Terkait adanya hasil Rapid Test pertama hasilnya negatif, namun saat Rapid Test kedua hasilnya positif, kemudian dilanjutkan pemeriksaan hingga mengharuskan orang tersebut dikarantina lebih dari 30 hari, menurut dr Yuli hal tersebut memang merupakan kenyataannya.
"Karena pemeriksaan Rapid Test itu bisa saja negatif kalau belum terjadi antibodi dalam tubuh seseorang. Kemudian saat diperiksa pada hari kesekian saat antibodinya telah terbentuk, maka akan menunjukkan hasil yang positif. Apakah virusnya masih ada pada tubuh yang bersangkutan? Yang jelas pada tanggal 23 April saat diambil PCR, virusnya memang masih ada. Sesuai dengan IGM yang positif. Apakah sekarang virusnya masih ada? Kita tidak tahu karena kita harus menunggu hasil PCR yang diambil tanggal 4 Mei kemarin, supaya kita tahu virusnya masih ada atau tidak," ujarnya lagi.
Kepala Dinas Kesehatan Kukar ini juga menyebutkan adanya faktor lain yang menyebabkan lamanya masa inkubasi, yakni sejak kapan pasien tersebut tertular virus Corona. "Masalahnya kita tak tahu persis kapan yang bersangkutan tertular, apakah pada hari pertama dia pergi ke Gowa, atau hari kedua, hari ketiga, atau pada saat dalam perjalanan pulang. Atau justru dia tertular saat berinteraksi disini dengan temannya yang duluan tertular dan sekarang sudah menjadi negatif. Selain itu bisa juga terjadi double expossure atau seseorang tertular dua kali, sehingga proses inkubasinya masih memanjang," terangnya.
Ditambahkan dr Yuli, dari beberapa ratus warga pelaku perjalanan ke Gowa, yang Rapid Test-nya positif tidak sampai 30 orang. Artinya mungkin yang lain, bisa tidak tertular, atau dia dalam fase penyembuhan. "Jadi sekali lagi ini bukan untuk diperdebatkan, karena ini adalah fakta. Fakta tentang penyakit. Penyakit itu bukan matematika yang mana satu tambah satu sama dengan dua," ujarnya.
Dr Yuli pun mengingatkan bahwa tidak ada yang kebal terhadap COVID-19. "Siapapun kita, tidak ada yang kebal. Tidak ada yang pasti sehat. Kita harus beranggapan bahwa semua orang itu berpotensi untuk menularkan atau dapat tertular. Semua orang berpotensi menjadi OTG atau Orang Tanpa Gejala. Karena dia tidak diperiksai, jadi tidak jelas status kesehatannya," katanya.
Faktor lain yang mempengaruhi lamanya masa karantina pasien COVID-19, lanjut dr Yuli, adalah dikarenakan faktor non teknis yakni menunggu hasil pemeriksaan tes swab PCR dari Surabaya. "Kita harus mengirim sampel ke Surabaya, kita menunggu waktu ekspedisi yang tidak bisa tiap hari dikirim ke Surabaya. Sampai di Surabaya, juga tidak bisa langsung diperiksa karena harus antri dengan ratusan atau ribuan sampel yang berasal dari Indonesia Bagian Timur. Belum lagi bicara rekapannya, disampaikan ke Provinsi, disampaikan lagi ke Kukar. Ada jeda yang cukup panjang terkait penegakan diagnosis atau menunggu hasil. Sehingga menyebabkan terjadinya masa karantina yang panjang. Kita tidak bisa ideal mengatakan seseorang telah negatif dan boleh keluar karantina. Mungkin saja orang itu sudah negatif, tapi kita tidak ada bukti," ungkapnya.
Oleh karena itu, dr Yuli mengingatkan kepada warga jangan sampai tertular virus Corona dengan selalu menerapkan perilaku hidup bersih. "Gunakan masker apabila bersama orang lain, jangan berjarak kurang dari 1 meter dengan orang lain, kemudian cuci tangan dengan air mengalir, karena siapa tahu kita memegang sesuatu yang ada droplet disitu. Itu yang penting," himbaunya. (win)
|