Acara Ngapehan Digelar Untuk Pertama Kali Suguhkan Tari Tradisi Hingga Band Aliran Post Hardcore Dedi Sudarya (kedua dari kiri) membawakan 2 buah tembang berbahasa Kutai ciptaan sendiri Photo: Agri
Aksi Sendawar Band yang ikut ambil bagian dalam acara Ngapehan Photo: Agri
|
KutaiKartanegara.com - 27/08/2007 12:33 WITA
Dunia kesenian di Kutai Kartanegara (Kukar), khususnya di 'Kota Raja' Tenggarong, boleh dibilang berkembang cukup pesat. Berbagai kelompok seni baru, terutama tari dan musik, terus tumbuh dan berkembang menyemarakkan dunia kesenian Kukar yang telah eksis sebelumnya.
Potensi inilah yang kemudian dilirik sebuah event organizer asal Tenggarong, Nagapore Productions, untuk mengumpulkan beberapa kelompok kesenian yang beda jenis maupun aliran, dalam sebuah acara bertajuk Ngapehan.
Acara yang digelar tadi malam di pentas terbuka kawasan taman Jembatan Kartanegara ini boleh dibilang cukup unik dan baru pertama kali dilaksanakan di Tenggarong. Pasalnya, beragam kesenian yang beda jenis dan aliran, untuk pertama kali tampil dalam satu pentas yang sama.
Mulai tari tradisi hingga tari kontemporer, ada pula musik etnik kontemporer hingga pembacaan puisi, dari sajian lagu daerah berbahasa Kutai hingga penampilan band anak muda yang mengusung musik bergenre post hardcore alias emo.
Kelompok Musik TOPA hadir menyuguhkan musik etnik kontemporer Photo: Agri | | |
Acara Ngapehan dibuka dengan penampilan para penari dari Sanggar Tari Gubang pimpinan Hariyansa yang mempersembahkan tari tradisi bertajuk Jepen Eroh Begenjoh. Setelah itu, ratusan warga Tenggarong yang menyaksikan acara ini disuguhi tarian kontemporer oleh Wiwin, yang juga koreografer Sanggar Tari Lanjong ini.
Selanjutnya, kelompok musik TOPA yang dimotori Tri Andi Yuniarso menghadirkan permainan musik etnik kontemporer yang mereka beri judul Kata Hati. Penampilan kelompok musik TOPA ini juga mengiringi sajian lagu berbahasa Kutai yang dibawakan Anggota DPRD Kukar Dedi Sudarya sertapembacaan puisi oleh seniman sastra asal Tenggarong, H Karno Wahid.
Dedi Sudarya menyanyikan 2 lagu berbahasa Kutai ciptaannya sendiri, masing-masing berjudul Kesah Bahari dan Pengaisan. Sedangkan Karno Wahid juga membawakan puisi ciptaannya sendiri yang berjudul Padang Perguruan.
Sebagai pamungkas acara Ngapehan, kelompok musik anak muda asal Tenggarong yang tergabung dalam Sendawar Band unjuk kebolehan membawakan 3 buah tembang beraliran post hardcore bertajuk Buried Myself Alive (The Used), Maybe Memories (The Used) dan What is to Burn (Finch).
Seniman Sastra kota Tenggarong, H Karno Wahid, ketika membacakan sebuah puisi bertajuk Padang Perguruan Photo: Agri | | |
Aksi Sendawar Band yang dimotori Taqim (vokal), Qiply (gitar), Buncit (gitar), Ery Jukut (bass) dan Parasx Atuck (drum), mampu menghangatkan suasana malam di kawasan Jembatan Kartanegara yang cukup dingin setelah sempat diguyur gerimis sejak sore hingga malam.
Menurut pimpinan Nagapore Productions, Dedi Sudarya, ide acara Ngapehan ini tercetus saat dirinya kumpul-kumpul bersama H Karno Wahid, Datuq Marangan, dan pimpinan Studio 3F H Akhyar Fahlevi. Mereka berempat kemudian sepakat untuk menggagas acara itu dengan nama Ngapehan.
Ngapehan yang diambil dari Bahasa Kutai, lanjut Dedi Sudarya, memiliki makna ngobrol-ngobrol, cerita-cerita, berdiskusi atau saling tukar pikiran. Dalam acara ini akan diisi ngapehan soal seni budaya di Kukar, namun karena beberapa pejabat terkait yang diundang berhalangan hadir lantaran masih berada di Jakarta untuk menghadiri acara pernikahan putra Bupati Kukar H Syaukani HR, maka acara ini dimaksimalkan dengan penampilan seni.
Kendati demikian, Dedi Sudarya menyatakan bahwa ke depan pihaknya masih akan menggelar Ngapehan sebagai agenda tetap di Kukar. "Karena masih banyak potensi seni budaya di daerah ini yang belum kita angkat untuk disuguhkan kepada masyarakat," pungkasnya. (win)
|