Fathul yang serius mengerjakan tugas sekolah diatas
'meja' jembatan ulin
Photo: Agri |
|
|
KutaiKartanegara.com 21/03/04 13:25 WITA
Sore itu,
Fathul Jannah (11) mengerjakan tugas sekolah
persis didepan rumahnya. Bukan diatas meja belajar, melainkan
diatas jembatan dari kayu ulin yang menjadi lintasan warga
Tanjong sehari-harinya. Tanpa mempedulikan kaki-kaki yang
melintas didepan wajahnya atau deru 1-2 sepeda motor yang
menyemburkan asap didepan hidungnya, murid kelas V SDN 1
Tenggarong ini tetap serius mengerjakan tugasnya hingga
tuntas.
Sebenarnya
bukan Fathul saja yang memanfaatkan jembatan ulin selebar 1,5
meter tersebut untuk beraktivitas. Jembatan yang menghubungkan
pemukiman diatas air ini juga digunakan ibu-ibu untuk
duduk-duduk sambil mengobrol atau sambil memberi makan anaknya.
Sementara bocah-bocah Tanjong memanfaatkan jembatan ulin
tersebut untuk tempat bermain yang mengasyikkan.
Bebas
merdeka. Warga Tanjong tetap dapat menikmati
kehidupannya sehari-hari dalam suatu kesederhanaan
Photo: Yanda |
|
|
Tanjong,
begitulah warga menyebutnya. Tanjong bukanlah nama kelurahan,
karena ia sendiri termasuk dalam wilayah Kelurahan Panji di
Kecamatan Tenggarong. Sebutan Tanjong melekat erat pada suatu
pemukiman padat penduduk di jantung ibukota Kabupaten Kutai
Kartanegara (Kukar) yang terletak persis pada tepi pertemuan
sungai Mahakam dengan sungai Tenggarong. Letaknya diatas daratan
yang lebih sering terendam air dan menjorok kearah sungai
menyebabkan warga Tenggarong menye-butnya Tanjong (Tanjung).
Bagi masyarakat
Tenggarong, nama Tanjong sangatlah populer seperti halnya ketika
menyebut nama-nama kampung atau kelurahan/desa di wilayah
Tenggarong seperti Loa Ipuh, Timbau, Mangkurawang, Melayu, Loa
Tebu atau Bukit Biru. Selain itu, Tanjong juga dikenal sebagai
suatu pemukiman diatas air yang padat dan kumuh serta dihuni
masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemukiman
warga Tanjong dilihat dari sungai Tenggarong dan
Jembatan Bongkok
Photo: Agri |
|
|
Menurut salah
seorang sesepuh warga Tanjong yang bernama Syahrin (58),
sebagian besar penduduk Tanjong mencari nafkah sebagai pekerja
kasar seperti misalnya tukang becak, tukang ojek, kuli bangunan,
penjual makanan dan minuman ataupun penunggu warung. "Sekitar
60% penghuni Tanjong adalah warga Banjar, sisanya adalah Kutai,
Jawa serta suku-suku lainnya. Kebanyakan warga disini adalah
para pendatang mereka menyewa petak-petak rumah disini," ujar
Syahrin yang setiap malamnya berdagang minum-an jahe hangat di
Jalan Diponegoro.
Dikisahkan
Syahrin bahwa awal mulanya hanya terdapat 4 buah
rumah di kawasan Tanjong, yakni milik keluarga H Toy, H Amid, Hj Timah dan Baen. Kemudian
sekitar tahun 1976-1978, para pendatang dari pedalaman Mahakam
yang mencari nafkah di Tenggarong mulai mendirikan rumah-rumah
diatas lahan milik 4 keluarga tadi dengan cara menyewa atau
membeli.
Bocah-bocah
Tanjong yang selalu ceria dalam kesehariannya
Photo: Agri |
|
|
Menurut
Syahrin, pembangunan pemukiman yang pesat terjadi di Tanjong
sekitar tahun 1980an setelah digusurnya rumah-rumah dan
pertokoan warga yang berada di sepanjang tepi sungai Mahakam di
Jalan Diponegoro disamping arus urbanisasi yang cukup besar dari
warga pedalaman seperti dari Muara Kaman, Muara Muntai dan
wilayah Kutai lainnya.
Tanjong
dijadikan pilihan karena letaknya yang sangat strategis yakni
dekat dengan tempat bekerja warga pendatang pada waktu itu
seperti kawasan pertokoan dan terminal yang letaknya memang
persis didepan kawasan Tanjong (kini Pasar Seni Tepian Pandan),
pelabuhan kota Tenggarong (depan Museum Mulawarman), pelabuhan
perahu ketinting, pasar ikan (samping Jembatan Bongkok) dan
pasar Inpres (kini gedung Telkom) di Jalan S Parman.
"Saat ini ada
sekitar 150 rumah yang berdiri di kawasan Tanjong dan dihuni
sekitar 300 kepala keluarga. Sebagian rumah memang ada yang
dihuni 2-3 kepala keluarga," kata Syahrin seraya menambahkan
bahwa terdapat 6 RT di kawasan tersebut, yakni dari RT IX hingga
RT XIV.
Rumah
panggung kecil dan sederhana di kawasan Tanjong
merupakan salah satu realita kehidupan masyarakat
Tenggarong yang masih dapat dijumpai
Photo: Yanda |
|
|
Apa yang
diungkap Syahrin memang tergambar jelas pada sebagian rumah
warga Tanjong saat ini. Beberapa keluarga ada yang menghuni
petak-petak berukuran 3 x 4 meter dari sebuah rumah berukuran
panjang. Ada yang masih menghuni rumah tua reot beratapkan
kajang (anyaman daun) serta banyak pula yang menghuni
rumah-rumah kecil yang berdiri rapat antara satu sama lain.
Kondisi
tersebut memang kurang sehat bagi rumah-rumah warga yang
terletak ditengah-tengah kepadatan kawasan Tanjong. Ventilasi
dari beberapa rumah tesebut tidak cukup untuk memperoleh aliran
udara segar maupun pencahayaan matahari secara langsung. Dan
yang lebih rawan lagi adalah ancaman kebakaran yang dapat
membahayakan keselamatan warga.
Bocah-bocah
Tanjong saat mandi di sungai Mahakam. Pemandangan
seperti ini kerap dijumpai saat hari mulai senja
Photo: Yanda |
|
|
Dikatakan oleh
Syahrin bahwa sudah empat kali hampir terjadi kebakaran besar di
Tanjong, namun berkat kesigapan warga Tanjong maka kebakaran
tersebut dapat diatasi dan tidak merambat luas. "Jika ada
ancaman kebakaran, warga bukannya menyelamatkan harta bendanya
masing-masing melainkan bersatu untuk merobohkan rumah yang
terbakar. Itu saja satu-satunya jalan yang dapat diambil, lebih
baik satu rumah roboh kedalam air daripada mengorbankan
rumah-rumah lainnya," ujarnya.
Lalu, bagaimana
perhatian yang diberikan Pemkab Kukar kepada masyarakat Tanjong?
Menurut Syahrin, Pemkab Kukar berencana untuk memindahkan atau
merelokasi warga Tanjong pada tahun 2005. "Sehari
menjelang Idul Adha beberapa bulan lalu, kami diundang pak
Kaning (sapaan akrab Bupati Kukar H Syaukani HR) ke Pendopo.
Mulanya beliau mengira kami ini susah atau tidak mau
dipindahkan dari Tanjong, padahal tidak. Kami siap dipindahkan
asal tempat yang baru itu nantinya tidak terlalu jauh dari
tempat kerja atau sekolah anak-anak kami," tandas Syahrin.
Yang pasti, ia
dan warga Tanjong sangat percaya sepenuhnya kepada Pemkab Kukar
yang akan memberikan jalan terbaik bagi masyarakat Tanjong
seperti yang telah dilakukan Pemkab Kukar dalam membebaskan
pemukiman warga sepanjang tepi sungai Mahakam pada tahun 2002
lalu. (win/nop)
Seorang gadis kecil
Tanjong yang tampak gembira setelah berhasil meraih
layang-layang putus meski harus rela menceburkan diri kedalam
air
Photo: Yanda
|